"The silence depressed me. It wasn't the silence of silence. It was my own silence." - Sylvia Plath, The Bell Jar
Ketika orang orang mengingat nama Sylvia Plath, sayangnya, yang pertama diingat adalah kematiannya. Ya, penyair yang dikenal dengan puisi puisinya yang berisi tentang rasa sakit dan perjuangan yang dialami oleh hidup Plath sendiri adalah pencapaian luar biasa yang ia raih dalam 30 tahun hidupnya.
Saat Sylvia Plath bunuh diri di flatnya di London pada tahun 1963, dia adalah seorang ibu dari dua orang anak dan seorang istri dari seorang penyair inggris terkenal saat itu Ted Hughes.
Plath ditemukan tewas pada 11 Februari 1963 setelah ia memasukan kepalanya ke dalam oven, dengan gas yang dihidupkan. Dia menyegel pintu dapur dan kamar anaknya dengan handuk dan kain basah untuk mencegah bocornya karbon monoksida masuk ke tempat anak-anaknya yang tengah tertidur di kamar sebelah.
Sebelum kematiannya, Plath menulis puisi puisi terakhirnya yang kelak menjadi salah satu warisannya.
Sementara suaminya Hughes, saat itu melarikan diri bersama wanita lain dan meninggalkan Plath yang membesarkan anak-anak mereka sendirian
Cemburu, marah, kecanduannya akan pil tidur dan terobsesi akan kematian, ia tuangkan pemikirannya kedalam tulisan tulisannya.
Seminggu sebelum kematiannya, Sylvia Plath, pada 18 Februari 1960, dan 4 Februari 1963, menulis surat dan mengirimkan tulisan tulisannya kepada teman dekatnya sekaligus mantan psikiaternya Ruth Beuscher yang kemudian menyerahkan catatan itu kepada Harriet Rosenstein, seorang sarjana feminis yang sedang mengerjakan biografi Plath. Namun, Rosenstein tidak pernah menerbitkan buku biografi tersebut, dan surat-surat itu, yang belum diketahui publik itu, tetap tersimpan dalam arsipnya.
Pada 2017, surat surat Plath kemudian dijual oleh sebuah dealer buku Amerika. Foto surat-surat, dengan tulisan tulisan Plath yang jelas terbaca, diposting online; ketika rumor tentang surat tersebut menyebar, Smith College yang merupakan almamater Plath yang memiliki tanggung jawab terhadap setiap berkas berkas Plath mengajukan gugatan. Kasus ini pun diselesaikan, dan surat surat itu diberikan pada Smith College, serta Frieda Hughes, putri Plath.
Salah satu kalimat yang Plath tulis dalam suratnya,
"
Now I shall grow out of his shadow, I thought, I shall be me",
yang diduga mengacu kepada hubungannya dengan suaminya Ted Hughes.
Dan di tulisan lainnya, Plath mengatakan, “
[Ted] told me openly he wished me dead.”
Siapakah Sylvia Plath?
Plath lahir di Boston, Massachusetts, pada 27 Oktober 1932. Dia memiliki masa kecil yang bahagia sebelum peristiwa dimana ayahnya, Otto Plath, meninggal pada November 1940. Plath sangat memuja, mengidolakan, dan menghormati sang ayah, yang kemudian mengilhami salah satu puisinya yang paling terkenal, "
Daddy." Kepergiannya yang tiba-tiba menyebabkan Plath kehilangan kepercayaannya, dan membuatnya terobsesi akan kematian dan keluarga seumur hidupnya
Plath selalu mengasah permainan kata-katanya sedari usia muda. Pada usia delapan ia menerbitkan puisi pertamanya di Boston Sunday Herald. Seventeen menerbitkan salah satu cerpennya pada Agustus 1950.
Saat kuliah di Smith College, Plath menjadi editor di The Smith Review dan selalu memenangkan setiap kompetisi menulis. Namun, prestasi gemilang itu menyembunyikan fakta yang kelam. Plath mengalami depresi berat. Ibunya, Aurelia Plath, kemudian membawanya ke dokter untuk mengobati Plath dengan terapi kejut electroconvulsive bipolar. Niat baik Aurelia menjadi sangat kacau ketika Plath, yang tidak sanggup menanggung rasa sakit, meminum empat puluh pil tidur pada 24 Agustus 1953. Dia selamat dari upaya bunuh dirinya yang pertama, setelah 3 hari tergeletak di crawling space di bawah rumahnya, dan kejadian itu membuatnya terluka secara emosional.
Dia menghabiskan enam bulan berikutnya di rumah sakit jiwa dan dirawat oleh Dr. Ruth Beuscher di Rumah Sakit McLean. Setelah pulih, ia kembali ke kampusnya
Pada Januari 1955, dia mengajukan tesisnya, The Magic Mirror: A Study of Double in Two of Dostoyevsky's Novels, dan pada bulan Juninya, ia lulus dari Smith.
Pertemuannya dengan Ted Hughes
Plath pertama kali bertemu penyair Ted Hughes pada 25 Februari 1956, di sebuah pesta di Cambridge, Inggris. Dalam wawancara BBC 1961, Plath menjelaskan bagaimana dia bertemu dengannya:
“Saya kebetulan berada di Cambridge. Saya dikirim ke sana oleh pemerintah [AS]. Dan saya telah membaca beberapa puisi Ted di majalah ini dan saya sangat terkesan dan saya ingin bertemu dengannya. Di sanalah kami bertemu ..."
Pasangan itu menikah pada 16 Juni 1956, di St. George the Martyr, Holborn (sekarang di London Borough of Camden). Mereka berbulan madu di Paris dan Benidorm.
Tahun berikutnya, Plath dan Hughes pindah ke Massachusetts, tempat ia mengajar di almamaternya, Smith College. Merupakan tantangan baginya untuk menemukan waktu untuk menulis dan juga mengajar. Pada akhir tahun 1959, pasangan itu kembali ke London.
Mereka dikaruniai anak perempuan pertama mereka, Frieda, pada 1 April 1960. Tahun berikutnya, Plath keguguran anak kedua mereka. (yang kemudian terungkap dalam surat terakhirnya yang ia tulis untuk terapisnya, bahwa Hughes, sang suami telah memukulnya dua hari sebelum keguguran).
Beberapa puisinya, termasuk "Parliament Hill Fields," mengisahkan tentang kegugurannya itu. Pada tahun 1962, putra mereka Nicholas lahir.
Dan saat inilah segalanya menjadi rumit.
Hadirnya wanita lain
Pada tahun 1961, pasangan itu menyewa flat di Chalcot Square. Disanalah suaminya Hughes, terpesona akan kecantikan Assia Wevill. Pada Juni 1962, Plath mengalami kecelakaan mobil yang disebut kemudian sebagai salah satu usaha percobaan bunuh dirinya. Pada Juli 1962, Plath mengetahui perselingkuhan Hughes dengan Assia Wevill dan pada bulan September, Plath dan Hughes berpisah
Menulis puisi
Dimulai pada Oktober 1962, kreativitas Plath bangkit, ia menulis setidaknya 26 puisi selama bulan-bulan terakhir hidupnya. Pada bulan Desember 1962, dia kembali sendirian ke London dengan anak-anak mereka, dan menyewa sebuah flat di 23 Fitzroy Road.
Musim dingin 1962–1963 dan anak anak Plath berusia dua tahun dan sembilan bulan, sering sakit sakitan dan rumah itu tidak memiliki telepon. Depresinya kembali lagi tetapi dia tetap menyelesaikan sisa koleksi puisinya yang kelak akan diterbitkan paska kematiannya (diterbitkan 1965 di Inggris, dan 1966 di AS).
Satu-satunya novelnya, The Bell Jar, yang dicetak dengan menggunakan nama Victoria Lucas (bukan Sylvia Plath) diterbitkan pada Januari 1963, sebulan sebelum kematiannya yang saat itu tidak ada yang peduli. Novel tersebut kembali dicetak atas nama Sylvia Plath (setelah kematiannya) untuk pertama kali pada 1967 dan atas permintaan suami dan ibunya Novel tersebut tidak dirilis di Amerika hingga tahun 1971.
Depresi terakhir dan kematiannya
Sebelum kematiannya, Plath mencoba beberapa kali untuk bunuh diri. 24 Agustus 1953, Plath minum pil tidur 40 pcs sekaligus di ruang di crawling space rumah ibunya. Pada Juni 1962, Plath mengendarai mobilnya menuju sebuah sungai yang kemudian dikatakan jika itu pun, adalah upayanya untuk bunuh diri.
Pada Januari 1963, Plath berbicara dengan Dr. John Horder, dokter umum dan seorang teman dekat yang tinggal di dekatnya. Dia menggambarkan episode depresi saat itu yang dia alami; bahwa hal tersebut telah berlangsung selama enam atau tujuh bulan. Sementara sebagian besar waktunya dia isi dengan bekerja, namun depresinya semakin memburuk dan menjadi parah, yang ditandai oleh agitasi yang konstan, pikiran untuk bunuh diri dan ketidakmampuan untuk mengatasi kehidupan sehari-hari. Plath juga berjuang melawan insomnia dengan minum obat di malam hari untuk memancingnya tidur, namun sering bangun lebih cepat. Berat badannya turun 20 pon.
Bunuh diri
Horder memberinya antidepresan, monoamine oksidase, beberapa hari sebelum Plath bunuh diri, ia menyadari resiko yang akan dihadapi dengan dua anak Plath, Horder mengunjunginya setiap hari dan berusaha keras untuk membuatnya dirawat di rumah sakit; ketika usahanya gagal, ia menjadwalkan perawat untuk tinggal di rumah Plath. (Para ahli berpendapat bahwa antidepresan mungkin memerlukan waktu hingga tiga minggu untuk bereaksi, resep dari Horder tidak akan berpengaruh penuh)
Perawat itu dijadwalkan tiba pada pukul sembilan pagi tanggal 11 Februari 1963, untuk membantu Plath merawat anak-anaknya. Setibanya di sana, dia tidak bisa masuk ke flat, dan akhirnya sang perawat bisa masuk dengan bantuan seorang pekerja, Charles Langridge. Mereka menemukan Plath telah mati sekitar pukul 4.30 pagi, ia keracunan karbon monoksida dengan kepalanya berada di dalam oven dengan gas yang menyala.
Namun ia menyegel pintu kamar anak-anaknya yang tidur dengan selotip, handuk, dan kain.
Dalam wawancaranya kepada BBC Maret 2000, Horder menceritakan tentang kegagalannya merawat depresi yang dialami Plath.
"
I failed her on that level. I was thirty years old and stupid. What did I know about chronic clinical depression? She kind of needed someone to take care of her. And that was not something I could do."
Paska kematian Plath
Setelah keputusan Plath bunuh diri. Hughes, yang masih menjadi suami plath, hancur (mereka telah berpisah enam bulan).
Batu nisan Plath telah berulang kali dirusak oleh beberapa orang dengan vandalisme paska peristiwa bunuh diri yang juga dilakukan selingkuhan Hughes. (pada 23 Maret 1969, Assia Wevill, dengan cara yang hampir sama dengan Plath, bersama putrinya yang berusia empat tahun, Shura bunuh diri di rumah mereka di London.
Assia menyegel pintu dan jendela dapur, lalu melarutkan pil tidur ke dalam segelas air, dicampur dengan wiski, dan kemudian menyalakan kompor gas. Dia dan Shura ditemukan oleh Else Ludwig, tergeletak bersama di sebuah kasur di dapur)
Hughes kemudian memindahkan nisan yang rusak tersebut untuk diperbaiki, dan meninggalkan makam Plath tanpa nama selama perbaikan. Namun orang orang menganggap Hughes tidak menghormati mendiang istrinya.
Nasib kedua anak Sylvia Plath
Putri Plath dan Hughes, Frieda Hughes, adalah juga seorang seniman . Sementara puteranya, Nicholas Hughes, pada 16 Maret 2009, tewas gantung diri di rumahnya di Fairbanks, Alaska, dan diketahui juga memiliki sejarah depresi.
pernah dibahas dikuliah waktu itu. so sad about how she deal with her life, mental illness is never okay and should be take seriously. karena setiap orang pasti merasakan dimana mereka berada di posisi terbawah. yang disayangkan adalah andai saat itu dia punya teman untuk berbagi dan menolongnya. good story min :)
ReplyDeleteSo Sad but True... Good story to share min.
ReplyDeletebagus bgt min...
ReplyDelete