Dina Sanichar, Anak Laki-Laki Yang Ditemukan Tinggal di Hutan Yang Menginspirasi Mowgli, The Jungle Book

Image
Sebagian dari kita pasti sudah tahu cerita The Jungle Book, dengan tokoh anak kecil bernama Mowgli yang merupakan karya  terkenal Rudyard Kipling. The Jungle Book menceritakan kisah Mowgli: seorang anak laki-laki yang ditinggalkan oleh orang tuanya dan dibesarkan oleh serigala. Dimana dia hidup dan dibesarkan dalam dunia  hewan. Dia tidak pernah belajar bagaimana berinteraksi dengan manusia lain. Kisah terkenal Kipling, yang keudian diadaptasi menjadi  film keluarga oleh Walt Disney, memiliki pesan yang membangkitkan semangat tentang penemuan jati diri dan harmoni antara peradaban manusia dan alam.  Namun, hanya sedikit orang yang tahu bahwa kisah itu didasarkan pada peristiwa nyata yang tragis. Namanya Dina Sanichar, yang dikenal juga dengan sebutan “the Indian wolf-boy”, seorang anak laki-laki liar yang hidup pada abad ke-19 dan dibesarkan oleh serigala—banyak yang percaya bahwa Dina adalah inspirasi sebenarnya di balik The Jungle Book. Tapi perlu dicatat, meskipun kenyataannya, terk
loading...

Lizzie Borden: Bersalah Atau Tidak?

I knew there was an old axe down cellar; that is all I knew.” — Lizzie Borden

Misteri kasus Lizzie Borden yang diduga telah membunuh orang tuanya sendiri adalah salah satu misteri yang belum terpecahkan hingga saat ini

Apakah Lizzie Borden memang hanya seorang guru sekolah minggu yang manis, yang secara tidak adil  telah disalahkan atas kematian orangtuanya?
Atau apakah dia memang telah secara brutal dan terencana membunuh kedua orang tuanya - dan lolos dari hukuman begitu saja?

Mari kita bahas kasusnya lebih mendetail.

Pada dini hari tanggal 4 Agustus 1892, rumah keluarga Borden sudah memulai aktivitasnya, meskipun putri bungsu mereka – Lizzie Borden- masih tertidur.

Dirumah itu ada juga seorang pelayan rumah tangga yang merupakan seorang imigran Irlandia bernama Bridget Sullivan, sedang menyajikan sarapan untuk sang tuan rumah, Andrew Borden, dan istrinya, Abby Borden seperti biasanya.  Anak perempuan tertua Borden, Emma, ​​sedang mengunjungi temannya.

Keluarga Borden bukan keluarga biasa.  Mereka adalah keluarga kaya.  Ayah Lizzie adalah seorang pengembang properti dan bisnis jual beli furnitur yang sukses. Pada saat kematiannya kelak, peti matinya saja bernilai $ 300.000 atau sekitar $ 8,17 juta USD dalam mata uang hari ini.  Itu pasti peti mati yang sangat bagus.

Lizzie Borden sendiri adalah seorang guru sekolah Minggu berusia 32 tahun yang belum menikah. Hari itu dia adalah orang terakhir yang bergabung dengan keluarganya di ruang makan, ia turun ke lantai bawah setelah pamannya, John Morse yang saat itu sedang menginap di rumahnya, memutuskan untuk pulang ke rumah pagi itu

Tapi Lizzie Borden memutuskan untuk tidak sarapan.  Ayahnya, Andrew, memutuskan untuk pergi ke pusat kota Fall River, Massachusetts - tempat keluarga itu tinggal - sekitar pukul sembilan pagi.

Setelah suaminya pergi meninggalkan rumah, Abby naik ke atas untuk merapihkan tempat tidur dimana Morse menginap malam sebelumnya.  Dia lalu meninggalkan kamar itu untuk mencari sarung bantal baru.

Abby adalah ibu tiri Lizzie. Ayah Lizzie menikah lagi beberapa tahun setelah kematian ibunya, dan Lizzie menyebut ibu tirinya sebagai gold-digger.

Beberapa lama kemudian,  Andrew pulang kembali ke rumah.  Setelah pelayan mereka membukakan pintu, Lizzie pun turun. Ia kemudian menyampaikan pesan kepada ayahnya, kalau ibu tirinya,  Abby Borden telah meninggalkan rumah setelah menerima pesan yang mengatakan bahwa seorang temannya sakit.  Lizzie dan Emma selalu memanggil Abby, ibu tiri mereka dengan sebutan "Mrs.  Borden." Dan sepertinya hubungan mereka tidak terlalu akrab.

Ayahnya mempercayai cerita itu dan kembali ke kamarnya, namun ia hanya berada di kamar selama beberapa menit saja sebelum akhirnya kembali turun dan duduk di sofa ruang tengah.

Sullivan, yang merasa tidak enak badan - dia telah mengalami muntah pagi itu, mungkin karena flu yang telah menyebar di sekitar rumah beberapa hari sebelumnya - meminta izin untuk beristirahat di kamarnya dan kemudian tertidur.

Menurut kesaksian Sullivan selama persidangan Lizzie Borden, ia hanya terbangun ketika mendengar Lizzie berteriak bahwa ayahnya sudah mati.

Tragedi itu terjadi

Entah bagaimana hal mengerikan itu terjadi, tiba tiba Lizzie Borden berteriak bahwa ayahnya telah meninggal. Andrew Borden berbaring di sofa dan berlumuran darah, wajahnya rusak parah sehingga dia tidak dapat dikenali.

Setelah berteriak, Sullivan berlari untuk memanggil dokter, tetapi keributan itu telah menarik perhatian para tetangga yang memanggil polisi.

Pada titik ini, keberadaan Abby masih belum diketahui. Lizzie Borden memberi tahu kerumunan tetangga yang datang tentang cerita yang sama dengan yang dia katakan kepada ayahnya: bahwa ibu tirinya telah menerima surat yang memintanya meninggalkan rumah.

Setelah kembali dengan dokter setempat bernama Seabury Bowen, Sullivan memeriksa Abby di lantai atas, dimana dia menemukan tubuh Abby yang lemas terbaring telungkup dalam genangan darahnya sendiri.
Abby Borden

Abby Borden telah dipukul 19 kali dengan kapak;  sementara Andrew Borden telah dipukul 11 ​​kali dengan senjata yang sama.  Salah satu mata Andrew terpotong menjadi dua dan hidungnya benar-benar terputus dari wajahnya.  Darah Abby gelap dan membeku.

Dalam bulan-bulan menjelang pembunuhan, ketegangan melanda rumah Borden.  Ketika ayah Lizzie memberikan sebuah rumah kepada saudara perempuan istrinya, putrinya Lizzie dan Emma menuntut agar mereka juga harus menerima sebuah rumah.  Ayah mereka menjual properti mereka, rumah tempat mereka tinggal sampai ibu kandung mereka meninggal dunia.

Investigasi

Awalnya, polisi tidak mencurigai Lizzie Borden.  Bagaimanapun, dia adalah seorang anak  dari keluarga yang dihormati dan kaya, dan Lizzie bersumpah kepada Jaksa Distrik Hosea Knowlton bahwa dia berada di gudang sedang mencari sepotong besi ketika serangan terjadi.

Andrew Borden sendiri sebenarnya bukan warga Fall River yang disukai.  Bahkan, ia memiliki reputasi sebagai orang yang gampang memiliki musuh dalam bisnis.  Sebelum pembunuhan, seorang pria Portugis diceritakan berkunjung ke rumah itu, tetapi dia tidak pernah diidentifikasi.  Lizzie sendiri takut bahwa seseorang akan melukai ayahnya karena "dia sangat tidak sopan kepada orang-orang."

Pada hari-hari setelah pembunuhan, banyak petunjuk yang semuanya mengarah ke jalan buntu dan  membingungkan. Penyelidikan lebih lanjut: kapak berdarah ditemukan di pertanian tetangga tetapi  kapak itu telah digunakan untuk memotong ayam. Bahkan Sullivan pun pernah dijadikan  tersangka sebelum polisi akhirnya mengincar Lizzie.

Tetapi tidak ada bukti fisik, bahkan secarik pakaian pun, untuk melibatkan Lizzie.  Hanya saja tidak ada orang lain yang bisa melakukannya.
Bridget Sullivan

Namun pekerja rumah tangga, Bridget Sullivan kemudian bersaksi untuk insiden menakutkan yang terjadi pada pagi hari pembunuhan.  Setelah Andrew kembali pagi itu, kunci cadangan rumah yang dibawa Andre untuk membuka pintu rumah macet.  Sullivan kemudian datang untuk membukanya dari dalam, tetapi ternyata pintu itu pun macet. Dia kemudian mendengar Lizzie tertawa dari atas tangga lantai dua tetapi malah tidak membantunya.

Namun dalam persidangan, Lizzie membantah tentang ia tertawa di atas tangga lantai dua rumahnya. Dia mengaku sedang membaca di dapur ketika ayahnya tiba di rumah, tapi kemudian dia mengklaim bahwa dia sedang menyeterika pakaian di ruang makan.  Dan kemudian, menuruni tangga, seperti cerita Sullivan. Kesaksiannya tidak menentu.

Namun satu kejanggalan, jika Lizzie berada di atas, menjadi bukti penting dalam persidangannya.  Seseorang yang berada di tangga lantai dua pastinya akan dapat melihat tubuh Abby, yang seharusnya tergeletak di lantai atas. Jikapun Abby belum meninggal, bukankah seharusnya Abby masih ada di lantai atas? Dan bukan pergi mengunjungi salah satu temannya seperti yang dikatakan Lizzie kepada ayahnya.

Namun berdasarkan penyidikan polisi, Ibu tiri Lizzie diduga telah terbunuh lebih dulu.  Menurut forensik, Abby berada di lantai atas dan sempat melihat pembunuhnya pada saat serangan.  Pertama, kapak menghantam Abby di telinga, yang menyebabkannya berbalik dan jatuh telungkup di lantai.  Penyerang kemudian memukulnya 17 kali di bagian belakang kepalanya, sampai dia mati.
Lokasi  pembunuhan Abby Borden

Kronologi kejadian sebenarnya pun sudah janggal.  Jika Abby terbunuh pagi-pagi, seandainya pembunuhnya  bukan Lizzie atau Sullivan - ia pastinya akan bersembunyi di rumah selama beberapa jam, menunggu Andrew kembali.  Tentu saja hal tersebut akan berisiko bagi si pembunuh bakal ditemukan oleh Lizzie atau Sullivan.

Dan bagaimana dengan surat yang diklaim Lizzie diterima ibu tirinya?  Jelas Abby tidak pernah keluar dari rumah, jadi dimana surat itu?  Lizzie memberi tahu temannya Alice Russell bahwa ibu tirinya mungkin tidak sengaja membakarnya.

Di ruang bawah tanah keluarga, polisi  juga menemukan dua kapak. 1 kapak dengan pegangannya yang patah.  Kapak yang rusak ini menjadi pusat perhatian sebagai alat yang yang dicurigai telah digunakan untuk pembunuhan karena  bekas lepasnya pegangannya itu masih tampak baru, dan debu di kepala kapak tampaknya telah sengaja dibersihkan, seolah-olah untuk membuat kapak terlihat tidak tersentuh seperti alat-alat lainnya.

Akhirnya, para penyelidik juga menemukan bahwa sehari sebelum pembunuhan terjadi, Lizzie pernah mencoba membeli asam prussat, atau dikenal sebagai sianida, dari sebuah toko obat, tetapi petugas mengatakan dia membutuhkan resep jika ingin membelinya.

Malam itu, Lizzie mengunjungi Russell.  Dalam kesaksiannya saat pemeriksaan, Russell mengatakan bahwa Lizzie cemas bahwa seseorang mungkin mengancam  ayahnya.  Dia mengaku bahwa orang orang ini mungkin ingin melukai keluarganya.

Beberapa hari setelah pembunuhan, Russell melihat Lizzie membakar salah satu gaunnya di kompor rumahnya.  Ketika Russell bertanya mengapa dia merusak gaun itu, Lizzie mengatakan bahwa gaunnya terkena cat dan tidak bisa lagi dipakai.

Setelah Russell mengungkapkan insiden ini pada saat pemeriksaan, hakim ketua mendakwa Lizzie Borden atas pembunuhan orang tuanya.

Pengadilan Lizzie Borden

Persidangan Lizzie Borden berlangsung 14 hari.  Itu adalah sensasi media.  Berita utama surat kabar saat itu menuliskan,
 "LIZZIE BORDEN DEFENSE OPENS." Wartawan dari Boston dan New York memadati ruang sidang hari demi hari.  Mereka menyebutnya The Great Trial.

Meskipun Lizzie tidak pernah bersaksi selama persidangan, dia masih menjadi pusat perhatian: Pada satu titik, selembar kertas tisu yang menutupi tengkorak ayahnya jatuh ke lantai.  Lizzie melihat tengkorak itu dan pingsan.

Tapi menghadirkan tengkorak Bordens yang terbunuh ternyata menguntungkan Lizzie.

Pengacaranya beralasan bahwa siapa pun yang melakukan pembunuhan tidak manusiawi seperti itu pasti berlumuran darah paska kejadian itu, tetapi pakaian Lizzie sangat bersih.

Para pembela juga mampu menghadirkan saksi yang melihat Lizzie meninggalkan gudang pada saat pembunuhan.
Lizzie mengatakan kepada pengadilan bahwa dia pergi ke gudang pada hari pembunuhan dan tidak di rumah selama "20 menit atau mungkin setengah jam." Seorang tetangga bersaksi bahwa dia melihat Lizzie  meninggalkan gudang jam 11:03 pagi.  Saat itu jam 11:10 ketika Lizzie memanggil pelayan untuk memberitahunya bahwa Andrew telah terbunuh, tetapi dia tidak menyuruh Sullivan untuk masuk ke kamar tempat Andrew meninggal.  Tapi, Lizzie menyuruhnya untuk memanggil dokter (padahal kondisi mayat Andrew telah rusak parah)

Para pembela juga memiliki kesaksian dari petugas toko obat bahwa Lizzie telah mencoba untuk membeli racun namun dipatahkan atas dasar bahwa itu "tidak relevan dan berprasangka."

Tidak bersalah

Juni 1893, semua informasi yang diambil dari kesaksian asli Lizzie dinyatakan tidak dapat diterima di pengadilan.  Kesaksian yang dihilangkan ini yang mengilhami banyak perdebatan modern tentang bersalah atau tidak bersalahnya Lizzie. Pada 19 Juni, Lizzie dinyatakan tidak bersalah atas pembunuhan Andrew dan Abby.  Dia dan saudara perempuannya, Emma, ​​yang mewarisi harta ayah mereka dan mereka pun membeli sebuah rumah di Fall River.

Setelah Pembebasan Lizzie Borden
Emma dan Lizzie Borden

Dua kakak beradik itu  tinggal dengan damai di Fall River hingga 1904. Rumah tersebut tergolong mewah saat itu.  Lizzie Borden (sekarang menyebut dirinya “Lisbeth”) bertemu dengan seorang aktris bernama Nance O'Neill. Pasangan ini memiliki ikatan yang kuat - beberapa berspekulasi nahwa mereka adalah sepasang kekasih - tetapi Emma tidak menyetujuinya.  Dua tahun setelah Lizzie bertemu Nance, Emma pindah dari rumah yang mereka tinggali. Setelah kejadian itu kedua kakak beradik itu tidak pernah bertemu lagi.
Meskipun Lizzie dianggap tidak bersalah tetapi dia tetap dikucilkan oleh masyarakat setempat.

Lizzie Borden menjalani sisa hidupnya dengan tenang dan tertutup sebelum meninggal pada tahun 1927 pada usia 67 tahun. Dan adiknya Emma, meninggal dunia, hanya 9 hari setelah kematian adiknya. Keduanya dikubur berdampingan di Oak Grove Cemetery. Mereka tidak pernah menikah hingga akhir hayatnya.


Pada saat kematiannya, kekayaan Lizzie Borden bernilai lebih dari $ 250.000 (setara dengan $ 4.839.000 pada tahun 2018). Dia memiliki sebuah rumah di sudut French Street dan Belmont Street, beberapa gedung perkantoran, berbagi beberapa utilitas, dua mobil dan sejumlah besar perhiasan. Dia meninggalkan $ 30.000 (setara dengan $ 581.000 pada tahun 2018) ke Fall River Animal Rescue League dan $ 500 ($ 10.000 pada tahun 2018) untuk perawatan kuburan ayahnya. Teman terdekat dan sepupunya masing-masing menerima $ 6.000 ($ 116.000 nilai saat ini) serta beberapa teman dan anggota keluarga lainnya masing-masing menerima antara $ 1.000 ($ 19.000 pada 2018) dan $ 5.000 (  $ 97.000 pada tahun 2018).

Lizzie mengubur rahasia apa pun yang dia miliki tentang pembunuhan orang tuanya ke kuburnya.  Tapi itu tidak menghentikan orang orang yang terobsesi dengan kisah itu untuk membentuk teori mereka sendiri.

Beberapa mengira anak laki laki Andrew yang tidak sah, William, yang melakukan kejahatan itu.  Sementara Lizzie dan Emma berkonspirasi untuk menutupi keterlibatannya, atau lebih mungkin, bahwa kedua saudara perempuan itu membuat rencana dan Lizzie sendiri yang melakukan pembunuhan yang sebenarnya.  Yang lain berpikir Lizzie dan Sullivan bersekongkol dan membunuh Bordens bersama-sama. Dan juga ada rumor yang santer beredar jika Lizzie dan Sullivan memiliki affair dan ayah Lizzie mengetahui hubungan terlarang putrinya dengan Sullivan.

Pada 2012, jurnal yang disimpan oleh pengacara Lizzie, Andrew Jackson Jennings, diperoleh dari Fall River Historical Society.

Jurnal-jurnal tersebut mengungkapkan pengamatan langsung Jennings terhadap kliennya, sebagai kasus pembunuhan berdarah dingin dan tidak berperasaan.  Tetapi Jennings melihat sisi sensitif pada Lizzie, seorang wanita yang berduka atas kehilangan ayahnya.

Tapi, catatan itu tidak membantu publik untuk mengetahui siapa yang sebenarnya telah membunuh Bordens.

Pembunuhan Andrew dan Abby Borden terus menarik perhatian publik lebih dari seratus tahun setelah pembebasan Lizzie Borden.  Orang-orang terus berduyun-duyun mendatangi Fall River, Massachusetts, untuk mengunjungi lokasi pembunuhan, yang kini telah berubah menjadi museum yang mencatat sejarah pembunuhan tersebut.

Beberapa pengunjung mengklaim bahwa rumah itu masih dihantui oleh hantu Andrew dan Abby Borden. Tapi satu hal yang dapat disepakati oleh semua orang adalah bahwa pembunuhan mengerikan ini dan persidangan Lizzie Borden yang sensasional menjadi debat dan misteri yang belum terpecahkan tentang siapa  sebenarnya pelaku pembunuhan itu  dan menjadikannya sebagai salah satu kasus pembunuhan paling terkenal di Amerika sepanjang masa.



Setelah membaca tentang Lizzie Borden, sudahkah kamu membaca tentang kisah Aileen Wuornos? Salah satu pembunuh berantai wanita Amerika

 .

Comments

Popular posts from this blog

Pengakuan Beth Thomas: "Child of Rage,' Seorang Anak Psikopat Yang Mengaku Ingin Membunuh Orang Tuanya

Dark Disney: Kisah Original Di Balik Cerita Klasik Disney - Sleeping Beauty

Dina Sanichar, Anak Laki-Laki Yang Ditemukan Tinggal di Hutan Yang Menginspirasi Mowgli, The Jungle Book