Dina Sanichar, Anak Laki-Laki Yang Ditemukan Tinggal di Hutan Yang Menginspirasi Mowgli, The Jungle Book

Image
Sebagian dari kita pasti sudah tahu cerita The Jungle Book, dengan tokoh anak kecil bernama Mowgli yang merupakan karya  terkenal Rudyard Kipling. The Jungle Book menceritakan kisah Mowgli: seorang anak laki-laki yang ditinggalkan oleh orang tuanya dan dibesarkan oleh serigala. Dimana dia hidup dan dibesarkan dalam dunia  hewan. Dia tidak pernah belajar bagaimana berinteraksi dengan manusia lain. Kisah terkenal Kipling, yang keudian diadaptasi menjadi  film keluarga oleh Walt Disney, memiliki pesan yang membangkitkan semangat tentang penemuan jati diri dan harmoni antara peradaban manusia dan alam.  Namun, hanya sedikit orang yang tahu bahwa kisah itu didasarkan pada peristiwa nyata yang tragis. Namanya Dina Sanichar, yang dikenal juga dengan sebutan “the Indian wolf-boy”, seorang anak laki-laki liar yang hidup pada abad ke-19 dan dibesarkan oleh serigala—banyak yang percaya bahwa Dina adalah inspirasi sebenarnya di balik The Jungle Book. Tapi perlu dicatat, meskipun...
loading...

Mohammed Bijeh (aka Teheran Desert Vampire) - Para Pembunuh Berantai Yang Menghantui Timur Tengah

"I suffered cruelly from childhood, and when I compared my life with others, I had to commit such acts." 

Mohammed Bijeh

Pada Maret 2005, di Negara Islam Iran garis keras, seorang pembunuh berantai yang memburu anak-anak dieksekusi di depan umum di depan banyak orang.  Ia dikenal oleh orang-orang Iran dengan sebutab "Vampir Gurun Teheran", Mohammed Bijeh menelusuri jalan-jalan berdebu di Pakdasht untuk mencari korban korbannya dengan bantuan kaki tangannya, Ali Baghi.  Anak-anak itu kemudian diracun atau dibunuh, dilecehkan secara seksual dan kemudian dimakamkan di kuburan yang dangkal.  Dia mengklaim bahwa motivasi pembunuhannya adalah bentuk balas dendam atas pelecehan seksual yang pernah dialaminya sendiri dan dia menunjukkan sedikit penyesalan atas kejahatannya.  Bijeh mengatakan kepada polisi jika dia tidak ditangkap, maka dia akan membunuh 100 anak lagi.

Mohammed Bijeh lahir pada 7 Februari 1982, dan dibesarkan di ibu kota provinsi Khorasan, yang mendekati perbatasan Afghanistan dan Turkmenistan.  Dia adalah anak tertua dari tujuh bersaudara dari Keluarga Basjee, juga dikenal sebagai Bijeh, yang tinggal di rumah bata yang mengenaskan dengan tiga kamar.  Pada usia empat tahun ibunya, yang menderita kanker, meninggal dunia dan meninggalkan anak anaknya itu dibawah pengasuhan ayahnya, yang oleh Bijeh digambarkan sebagai seorang yang biadab.  Suatu kali ayahnya mengancam akan membunuh Bijeh kecil  dengan sebatang tongkat, dan sering kali merantai kakinya dan memukulinya dengan tongkat, dan ketika ayahnya menikah lagi, ibu tirinya juga sering kali memukulinya.

Kelak setelah penangkapannya, dia mengatakan kepada polisi bahwa ketika ia sedang dipukuli ini, ia melihat darah seakan membuatnya merasa "gembira". Meskipun Bijeh kecil ingin tetap bersekolah, ia ditekan oleh ayahnya untuk drop out pada usia 11 dan mulai bekerja.  Keluarga itu pindah ke Khatunabad di Provinsi Kerman dan Bijeh mulai bekerja di sebuah pembakaran bahan bakar (furnace).  Selama masa inilah dia dilecehkan secara seksual oleh seseorang dan kemudian berulang kali diperkosa oleh orang lain.  Karena hal itulah ia mulai memiliki keinginan balas dendam terhadap mereka yang telah berbuat salah padanya.

Sebagai orang dewasa, Mohammed Bijeh pindah ke kota miskin Pakdasht, 20 mil selatan Teheran, di mana ia bekerja di pembuatan batu bata seperti banyak dari mereka yang tinggal di daerah itu.  Laki-laki, perempuan dan anak-anak di kota bekerja di sana sepanjang hari mengisi cetakan batu bata dengan lumpur dan mengeringkannya sebelum membawanya ke tempat pembakaran.  Sebuah keluarga miskin hanya mampu menghasilkan beberapa pound per minggu, dan lebih dari dua ribu batu bata harus dibuat untuk mendapatkan £ 2 dalam kondisi yang tidak sehat dan melelahkan. Gumpalan asap hitam yang mengepul dari cerobong asap pembakaran begitu tercemar, sehingga pohon-pohon pinus menjadi coklat.  Di daerah tersebut sudah lama ada subkultur kemiskinan, kecanduan narkoba dan kejahatan yang berkembang di wilayah ini, dan yang berkontribusi pada kejahatan Mohammed Bijeh.

Dari kejauhan terlihat tempat tinggal kaki tangan Bijeh.  Ali Baghi, juga dikenal sebagai Ali Gholampour, juga bekerja di pembuatan batu bata. Ia berusia lebih muda dari Bijeh dan juga menderita pelecehan oleh ayahnya sendiri dan lelaki lain ketika dia masih kecil.  Di masa dewasa, Baghi menjadi kecanduan narkoba dan merupakan salah satu dari 1,2 juta pecandu heroin di Iran.

Pada bulan Maret 2004 anak-anak di lingkungan itu mulai menghilang.  Bijeh memaksa Baghi untuk berpartisipasi dalam pembunuhan dan mengancamnya ketika dia menolak.

Dia menggunakan pos pengamatan yang terletak di dekat lubang kapur, dimana ia membidik korbannya.  Ada juga kandang burung yang terbuat dari bata berukuran kecil dimana ia akan memikat anak-anak dengan cerita tentang burung merpati, atau rayuan untuk menggali kelinci dan rubah dari lubang mereka di gurun Teheran.  Dan disana Bijeh dan Baghi, akan melumpuhkan anak-anak dengan memukul mereka hingga pingsan atau menggunakan racun, sebelum akhirnya melecehkan mereka secara seksual.  Setelah itu mereka akan membakar atau mengubur mayat mereka di kuburan yang dangkal.

Investigasi polisi terhadap pembunuhan tersebut sempat dikritik karena tidak efektif, karena pernah pada suatu waktu, Bijeh pernah ditangkap dan ditahan selama beberapa bulan, tetapi kemudian dibebaskan. Akibatnya, ia terus membunuh tujuh anak lagi.  Banyak dari korban Bijeh adalah anggota keluarga keturunan Afghanistan, yang tidak melaporkan anak-anak mereka yang hilang karena mereka takut akan dipulangkan oleh petugas setempat karena mereka diangap mencari perhatian.  Penduduk lain adalah etnis Kurdi, yang baru-baru ini bermigrasi kembali ke kota di Iran Timur ke tempat leluhur mereka secara paksa dipindahkan dari wilayah tersebut dan dimukimkan kembali lebih dari 300 tahun yang lalu.  Dan bisa dikatakan bahwa penduduk Pakdasht mengklaim bahwa mereka tidak memiliki perlindungan hukum secara penuh karena etnis dan kemiskinan mereka.

Pembunuhan berlanjut hingga 14 September 2004, ketika polisi melakukan penangkapan dalam kasus ini.  Ketika polisi menangkapnya, Bijeh sedang mengamati anak-anak yang berenang di sebuah kanal.  Dia ditanyai tentang anak laki-laki yang hilang dan mayat yang ditemukan dan dia mengaku yang juga melibatkan Baghi, yang kemudian ditangkap.  Bijeh menjelaskan bahwa motivasinya untuk kejahatan tersebut adalah untuk membalas dendam kepada masyarakat setelah dia diperkosa dan dilecehkan sebagai seorang anak, serta rasa sakit yang dideritanya sejak kematian ibunya yang terlalu cepat dan kurangnya kasih sayang dari ayahnya.

Dia berkomentar;
"Aku sangat menderita sejak kecil, dan ketika aku membandingkan hidupku dengan orang lain, aku seperti harus melakukan tindakan seperti itu."

Ketika ditanya apakah dia menyesal atas kejahatannya, Bijeh menggelengkan kepalanya dengan acuh tak acuh.
Kedua pria itu diadili karena pembunuhan di pengadilan Teheran, yang dipimpin oleh Hakim Mansour Yavarzadeh Yeganeh.

Persidangan

Persidangan dihentikan sebentar selama satu sesi, ketika kerabat salah satu korban menyerang Bijeh saat ia memberikan bukti. Mereka melempar kursi dan mencoba menyerangnya ketika Bijeh menggambarkan bagaimana dia memperkosa dan membunuh para korbannya. Dan mereka pun segera dipindahkan dari ruang sidang.  Kerabat para korban meminta kepada pengadilan untuk "hukuman terberat yang memungkinkan".  Bijeh mengakui pembunuhan 15 anak laki-laki berusia antara 8 hingga 15 tahun serta dua orang dewasa dan dia dijatuhi hukuman 100 cambukan, dan langsung di eksekusi dengan digantung. Baghi sendiri dibebaskan dari keterlibatan dalam pembunuhan karena kurangnya bukti, tetapi dia dihukum karena beberapa penculikan sebagai kaki tangan Bijeh, yang dia akui, dan dijatuhi hukuman penjara 15 tahun.

Dilaporkan bahwa Bijeh pernah menyatakan,
"Aku tidak pantas dihukum mati."

Satu orang menulis di sebuah surat kabar lokal yang menyerukan agar dua pembunuh dibakar hidup-hidup di tungku batu bata, sementara ayah salah satu korban mempertanyakan apakah Bijeh dan Bahgi bukan bagian dari kelompok yang mungkin lebih besar lagi yang berurusan dengan "bagian tubuh anak-anak".  Orang tersebut juga mengatakan,
"Kami siap untuk membayar pengadilan sebanyak yang mereka inginkan agar mereka dapat menyerahkan mereka kepada kami dan kami yang akan menangani mereka".

Sebagian besar hukuman mati di Iran dilakukan tidak lama setelah vonis dijatuhkan dan yang dihukum dengan digantung akan dilakukan pagi-pagi sekali.  Jika kejahatan terpidana mati sangat terkenal, maka si kriminal akan dieksekusi di depan umum di lokasi kejahatan mereka.

Eksekusi

Hukuman mati untuk Mohammed Bijeh dilakukan pada 16 Maret 2005, di daerah gurun dimana pembunuhan dilakukan. Berbeda dengan persidangannya, yang dilakukan secara tertutup, eksekusinya sendiri adalah tontonan publik, di depan kerumunan 5.000 orang yang datang untuk menyaksikan hukumannya. Kemejanya dilepas dan dia diborgol ke sebuah pos besi, kemudian beberapa pejabat pengadilan bergiliran memberikan cambuk. Dia jatuh berlutut beberapa kali selama hukuman, tetapi dia menolak untuk menangis.

Kerumunan orang melemparkan batu dan berteriak agar para petugas memukulnya lebih keras, sementara yang lain berteriak
"memalukan kamu, Bijeh!"

Ketika hukuman cambuk selesai, ibu dari salah satu anak lelaki yang terbunuh, Milad Kahani, diminta oleh petugas untuk meletakkan tali nilon biru di leher Bijeh untuk hukuman gantungnya.

Dilaporkan, ketika Bijeh tengah disiapkan untuk digantung, ia ditikam dengan pisau oleh saudara lelaki korban yang berusia 17 tahun, Rahim Younessi, tetapi orang itu segera ditarik pergi oleh penjaga keamanan.  Sebelum digantung, seorang ulama yang hadir berusaha untuk mengobarkan semangat keramaian masyarakat yang berkerumun dengan meneriakkan, "Allahu akbar".  Tali itu kemudian dilekatkan pada sebuah kait dan dia diangkat 10 meter ke udara dengan sebuah crane sampai mati.

Beberapa di antara kerumunan itu meneriakkan,
"Marg bar Bijeh!"  (Kematian bagi Bijeh!).

Ali Khosravi berteriak,
balikkan dia, buat dia berayun!”

Dan ia juga memanggil nama putranya yang berusia 12 tahun, Kavon, yang diculik bersama dengan dua temannya yang saat itu sedang bermain bola.  Pak Khosravi berkata,
"Ini adalah hari yang paling membahagiakan. Untuk menebus putraku yang terbunuh".

Dia juga berkata,
"Kami tidak pernah menemukan mayat Kavon, yang kami dapatkan hanyalah beberapa tulang".

Mohammed Nouri, 49 tahun, seorang pengungsi Afghanistan, memegang tinggi-tinggi foto putranya yang terbunuh dan berterima kasih kepada Iran karena memberikan keadilan. Dia mengatakan,
"Eksekusi hari ini akan mengurangi penderitaanku. Aku puas terhadap Islamic Republic of Iran dan rakyat Iran".

Seorang penonton berkata;
"Mungkin ini bukan hal yang baik karena ada begitu banyak anak disana dan ini tidak baik bagi mereka untuk melihat ini".

Setelah 20 menit, Bijeh dipastikan meninggal oleh seorang dokter.



Baca Juga: Raya dan Sakina - Para Pembunuh Berantai Yang Menghantui Timur Tengah

Baca juga: Ramadan Abdel Rehim- Mansour - Para Pembunuh Berantai Yang Menghantui Timur Tengah 

Comments

  1. Jahat banget sih, nggak tega pas baca kalo yg jadi korban masih anak2

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pengakuan Beth Thomas: "Child of Rage,' Seorang Anak Psikopat Yang Mengaku Ingin Membunuh Orang Tuanya

Dark Disney: Kisah Original Di Balik Cerita Klasik Disney - Sleeping Beauty

Dina Sanichar, Anak Laki-Laki Yang Ditemukan Tinggal di Hutan Yang Menginspirasi Mowgli, The Jungle Book